Industri Tekstil Indonesia Tergantung pada Seutas Benang
Delapantoto – TEMPO Interaktif, Jakarta – Sudah hampir dua bulan, bengkel garmen milik Nandi Herdiman di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menganggur. Ia sengaja menghentikan produksi. Sekitar 7.
000 kaos dan kaus menumpuk di gudangnya, belum terjual. “Pasar online dan offline masih didominasi oleh produk murah dari China,” kata Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Indonesia (IPKB) ini pada Senin, 13 Oktober 2025. Dia mencatat bahwa penjualan di toko online dan toko fisik telah anjlok hingga 80 persen.
Menurut Nandi, sebagian besar anggota asosiasi juga mengalami hal yang sama. Selain impor legal, masuknya barang-barang ilegal dan impor pakaian bekas semakin menekan produsen garmen kecil. “Harga produk mereka bisa setengah dari harga produk kita,” katanya.
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 17/2025 untuk memperketat impor tekstil dan produk tekstil. Peraturan tersebut mewajibkan dokumen persetujuan impor untuk mendatangkan kain, karpet, pakaian jadi, dan pakaian jadi.
d aksesoris dari luar negeri. Namun sejak diberlakukan pada 29 Agustus 2025, peraturan tersebut belum mampu menghidupkan kembali bisnis, karena barang impor telah membanjiri pasar domestik. Akibatnya, banyak pemain kecil yang gulung tikar.
IPKB mencatat sekitar 40 persen produsen garmen kecil dan menengah telah tutup sejak pandemi Covid-19. Situasi ini semakin parah karena lemahnya pengawasan impor.